Belum
lama ini aku kembali bertemu Nana (bukan nama sebenarnya). Ia kini
sudah berkeluarga dan sejak menikah tinggal di Palembang. Untuk suatu
urusan keluarga, ia bersama anaknya yang masih berusia 6 tahun pulang ke
Yogya tanpa disertai suaminya.
Nana masih seperti dulu, kulitnya yang putih, bibirnya yang merah
merekah, rambutnya yang lebat tumbuh terjaga selalu di atas bahu. Meski
rambutnya agak kemerahan namun karena kulitnya yang putih bersih, selalu
saja menarik dipandang, apalagi kalau berada dalam pelukan dan
dielus-elus.
Perjumpaan di Yogya ini mengingatkan peristiwa sepuluh tahun lalu ketika
ia masih kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogya. Selama
kuliah, ia tinggal di rumah bude, kakak ibunya yang juga kakak ibuku.
Rumahku dan rumah bude agak jauh dan waktu itu kami jarang ketemu Nana.
Aku mengenalnya sejak kanak-kanak. Ia memang gadis yang lincah,
terbuka dan tergolong berotak encer. Setahun setelah aku menikah,
isteriku melahirkan anak kami yang pertama. Hubungan kami rukun dan
saling mencintai. Kami tinggal di rumah sendiri, agak di luar kota.
Sewaktu melahirkan, isteriku mengalami pendarahan hebat dan harus
dirawat di rumah sakit lebih lama ketimbang anak kami. Sungguh repot
harus merawat bayi di rumah. Karena itu, ibu mertua, ibuku sendiri,
tante (ibunya Nana) serta Nana dengan suka rela bergiliran membantu
kerepotan kami. Semua berlalu selamat sampai isteriku diperbolehkan
pulang dan langsung bisa merawat dan menyusui anak kami.
Hari-hari
berikutnya, Nana masih sering datang menengok anak kami yang katanya
cantik dan lucu. Bahkan, heran kenapa, bayi kami sangat lekat dengan
Nana. Kalau sedang rewel, menangis, meronta-ronta kalau digendong Nana
menjadi diam dan tertidur dalam pangkuan atau gendongan Nana. Sepulang
kuliah, kalau ada waktu, Nana selalu mampir dan membantu isteriku
merawat si kecil. Lama-lama Nana sering tinggal di rumah kami. Isteriku
sangat senang atas bantuan Nana. Tampaknya Nana tulus dan ikhlas
membantu kami. Apalagi aku harus kerja sepenuh hari dan sering pulang
malam. Bertambah besar, bayi kami berkurang nakalnya. Nana mulai tidak
banyak mampirke rumah. Isteriku juga semakin sehat dan bisa mengurus
seluruh keperluannya. Namun suatu malam ketika aku masih asyik
menyelesaikan pekerjaan di kantor, Nana tiba-tiba muncul.
"Ada apa Na, malam-malam begini."
"Mas Danu, tinggal sendiri di kantor?"
"Ya, Dari mana kamu?"
"Sengaja kemari."
Nana
mendekat ke arahku. Berdiri di samping kursi kerja. Nana terlihat
mengenakan rok dan T-shirt warna kesukaannya, pink. Tercium olehku bau
parfum khas remaja.
"Ada apa, Nana?"
"Mas... aku pengin seperti Mbak Tari."
"Pengin?
Pengin apanya?" Nana tidak menjawab tetapi malah melangkah kakinya yang
putih mulus hingga berdiri persis di depanku. Dalam sekejap ia sudah
duduk di pangkuanku.
"Nana, apa-apaan kamu ini.." Tanpa menungguku
selesai bicara, Nana sudah menyambarkan bibirnya di bibirku dan
menyedotnya kuat-kuat. Bibir yang selama ini hanya dapat kupandangi dan
bayangkan, kini benar-benar mendarat keras. Kulumanya penuh nafsu dan
nafas halusnya menyeruak. Lidahnya dipermainkan cepat dan menari lincah
dalam rongga mulutku. Ia mencari lidahku dan menyedotnya kuat-kuat. Aku
berusaha melepaskannya namun sandaran kursi menghalangi. Lebih dari itu,
terus terang ada rasa nikmat setelah berbulan-bulan tidak berhubungan
intim dengan isteriku. Nana merenggangkan pagutannya dan katanya, "Mas,
aku selalu ketagihan Mas. Aku suka berhubungan dengan laki-laki, bahkan
beberapa dosen telah kuajak beginian. Tidak bercumbu beberapa hari saja
rasanya badan panas dingin. Aku belum pernah menemukan laki-laki yang
pas."
Kuangkat tubuh Nana dan kududukkan di atas kertas yang
masih berserakan di atas meja kerja. Aku bangkit dari duduk dan
melangkah ke arah pintu ruang kerjaku. Aku mengunci dan menutup kelambu
ruangan.
"Na.. Kuakui, aku pun kelaparan. Sudah empat bulan tidak bercumbu dengan Tari."
"Jadikan aku Mbak Tari, Mas. Ayo," kata Nana sambil turun dari meja dan menyongsong langkahku.
Ia
memelukku kuat-kuat sehingga dadanya yang empuk sepenuhnya menempel di
dadaku. Terasa pula penisku yang telah mengeras berbenturan dengan perut
bawah pusarnya yang lembut. Nana merapatkan pula perutnya ke arah
kemaluanku yang masih terbungkus celana tebal. Nana kembali menyambar
leherku dengan kuluman bibirnnya yang merekah bak bibir artis terkenal.
Aliran listrik seakan menjalar ke seluruh tubuh. Aku semula ragu
menyambut keliaran Nana. Namun ketika kenikmatan tiba-tiba menjalar ke
seluruh tubuh, menjadi mubazir belaka melepas kesempatanini.
"Kamu amat bergairah, Nana.." bisikku lirih di telinganya.
"Hmmm... iya... Sayang.." balasnya lirih sembari mendesah.
"Aku sebenarnya menginginkan Mas sejak lama... ukh..." serunya sembari menelan ludahnya.
"Ayo, Mas... teruskan.."
"Ya Sayang. Apa yang kamu inginkan dari Mas?"
"Semuanya,"
kata Nana sembari tangannya menjelajah dan mengelus batang kemaluanku.
Bibirnya terus menyapu permukaan kulitku di leher, dada dan tengkuk.
Perlahan kusingkap T-Shirt yang dikenakannya. Kutarik perlahan ke arah
atas dan serta merta tangan Nana telah diangkat tanda meminta T-Shirt
langsung dibuka saja. Kaos itu kulempar ke atas meja. Kedua jemariku
langsung memeluknya kuat-kuat hingga badan Nana lekat ke dadaku. Kedua
bukitnya menempel kembali, terasa hangat dan lembut. Jemariku mencari
kancing BH yang terletak di punggungnya. Kulepas perlahan, talinya,
kuturunkan melalui tangannya. BH itu akhirnya jatuh ke lantai dan kini
ujung payudaranya menempel lekat ke arahku. Aku melorot perlahan ke arah
dadanya dan kujilati penuh gairah. Permukaan dan tepi putingnya terasa
sedikit asin oleh keringat Nana, namun menambah nikmat aroma gadis muda.
Tangan
Nana mengusap-usap rambutku dan menggiring kepalaku agar mulutku segera
menyedot putingnya. "Sedot kuat-kuat Mas, sedooottt..." bisiknya. Aku
memenuhi permintaannya dan Nana tak kuasa menahan kedua kakinya. Ia
seakan lemas dan menjatuhkan badan ke lantai berkarpet tebal. Ruang
ber-AC itu terasa makin hangat. "Mas lepas..." katanya sambil telentang
di lantai. Nana meminta aku melepas pakaian. Nana sendiri pun melepas
rok dan celana dalamnya. Aku pun berbuat demikian namun masih kusisakan
celana dalam. Nana melihat dengan pandangan mata sayu seperti tak sabar
menunggu. Segera aku menyusulnya, tiduran di lantai. Kudekap tubuhnya
dari arah samping sembari kugosokkan telapak tanganku ke arah putingnya.
Nana melenguh sedikit kemudian sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku.
Sengaja ia segera mengarahkan putingnya ke mulutku.
"Mas sedot
Mas... teruskan, enak sekali Mas... enak..." Kupenuhi permintaannya
sembari kupijat-pijat pantatnya. Tanganku mulai nakal mencari
selangkangan Nana. Rambutnya tidak terlalu tebal namun datarannya cukup
mantap untuk mendaratkan pesawat "cocorde" milikku. Kumainkan jemariku
di sana dan Nana tampak sedikit tersentak. "Ukh... khmem.. hsss...
terus... terus," lenguhnya tak jelas. Sementara sedotan di putingnya
kugencarkan, jemari tanganku bagaikan memetik dawai gitar di pusat
kenikmatannya. Terasa jemari kanan tengahku telah mencapai gumpalan
kecil daging di dinding atas depan vaginanya, ujungnya kuraba-raba
lembut berirama. Lidahku memainkan puting sembari sesekali menyedot dan
menghembusnya. Jemariku memilin klitoris Nana dengan teknik petik
melodi.
Nana menggelinjang-gelinjang, melenguh-lenguh penuh
nikmat. "Mas... Mas... ampun... terus, ampun... terus ukhhh..." Sebentar
kemudian Nana lemas. Namun itu tidak berlangsung lama karena Nana
kembali bernafsu dan berbalik mengambil inisitif. Tangannya mencari-cari
arah kejantananku. Kudekatkan agar gampang dijangkau, dengan serta
merta Nana menarik celana dalamku. Bersamaan dengan itu melesat keluar
pusaka kesayangan Tari. Akibatnya, memukul ke arah wajah Nana. "Uh...
Mas... apaan ini," kata Nana kaget. Tanpa menunggu jawabanku, tangan
Nana langsung meraihnya. Kedua telapak tangannya menggenggam dan
mengelus penisku.
"Mas... ini asli?"
"Asli, 100 persen," jawabku.
Nana
geleng-geleng kepala. Lalu lidahnya menyambar cepat ke arah permukaan
penisku yang berdiameter 6 cm dan panjang 19 cm itu, sedikit agak
bengkok ke kanan. Di bagian samping kanan terlihat menonjol aliran otot
keras. Bagian bawah kepalanya, masih tersisa sedikit kulit yang
menggelambir. Otot dan gelambiran kulit itulah yang membuat perempuan
bertambah nikmat merasakan tusukan senjata andalanku.
"Mas, belum pernah aku melihat penis sebesar dan sepanjang ini."
"Sekarang kamu melihatnya, memegangnya dan menikmatinya."
"Alangkah bahagianya MBak Tari."
"Makanya kamu pengin seperti dia, kan?"
Nana langsung menarik penisku. "Mas, aku ingin cepat menikmatinya. Masukkan, cepat masukkan."
Nana
menelentangkan tubuhnya. Pahanya direntangkannya. Terlihat betapa mulus
putih dan bersih. Diantara bulu halus di selangkangannya, terlihat
lubang vagina yang mungil. Aku telah berada di antara pahanya. Exocet-ku
telah siap meluncur. Nana memandangiku penuh harap.
"Cepat Mas, cepat.."
"Sabar Nana. Kamu harus benar-benar terangsang, Sayang..."
Namun
tampaknya Nana tak sabar. Belum pernah kulihat perempuan sekasar Nana.
Dia tak ingin dicumbui dulu sebelum dirasuki penis pasangannya. "Cepat
Mas..." ajaknya lagi. Kupenuhi permintaannya, kutempelkan ujung penisku
di permukaan lubang vaginanya, kutekan perlahan tapi sungguh amat sulit
masuk, kuangkat kembali namun Nana justru mendorongkan pantatku dengan
kedua belah tangannya. Pantatnya sendiri didorong ke arah atas. Tak
terhindarkan, batang penisku bagai membentur dinding tebal. Namun Nana
tampaknya ingin main kasar. Aku pun, meski belum terangsang benar,
kumasukkan penisku sekuat dan sekencangnya. Meski perlahan dapat
memasukirongga vaginanya, namun terasa sangat sesak, seret, panas, perih
dan sulit. Nana tidak gentar, malah menyongsongnya penuh gairah.
"Jangan paksakan, Sayang.." pintaku.
"Terus.
Paksa, siksa aku. Siksa... tusuk aku. Keras... keras jangan takut Mas,
terus.." Dan aku tak bisa menghindar. Kulesakkan keras hingga separuh
penisku telah masuk. Nana menjerit, "Aouwww.. sedikit lagi.." Dan aku
menekannya kuat-kuat. Bersamaan dengan itu terasa ada yang mengalir dari
dalam vagina Nana, meleleh keluar. Aku melirik, darah... darah segar.
Nana diam. Nafasnya terengah-engah. Matanya memejam. Aku menahan penisku
tetap menancap. Tidak turun, tidak juga naik. Untuk mengurangi
ketegangannya, kucari ujung puting Nana dengan mulutku. Meski agak
membungkuk, aku dapat mencapainya. Nana sedikit berkurang ketegangannya.
Beberapa
saat kemudian ia memintaku memulai aktivitas. Kugerakkan penisku yang
hanya separuh jalan, turun naik dan Nana mulai tampak menikmatinya.
Pergerakan konstan itu kupertahankan cukup lama. Makin lama tusukanku
makin dalam. Nana pasrah dan tidak sebuas tadi. Ia menikmati irama
keluar masuk di liang kemaluannya yang mulai basah dan mengalirkan
cairan pelicin. Nana mulai bangkit gairahnya menggelinjang dan melenguh
dan pada akhirnya menjerit lirih, "Uuuhh.. Mas... uhhh... enaakkkk..
enaaakkk... Terus... aduh... ya ampun enaknya.." Nana melemas dan
terkulai. Kucabut penisku yang masih keras, kubersihkan dengan bajuku.
Aku duduk di samping Nana yang terkulai.
"Nana, kenapa kamu?"
"Lemas, Mas. Kamu amat perkasa."
"Kamu juga liar."
Nana
memang sering berhubungan dengan laki-laki. Namun belum ada yang
berhasil menembus keperawanannya karena selaput daranya amat tebal.
Namun perkiraanku, para lelaki akan takluk oleh garangnya Nana mengajak
senggama tanpa pemanasan yang cukup. Gila memang anak itu, cepat panas.
Sejak
kejadian itu, Nana selalu ingin mengulanginya. Namun aku selalu
menghindar. Hanya sekali peristiwa itu kami ulangi di sebuah hotel
sepanjang hari. Nana waktu itu kesetanan dan kuladeni kemauannya dengan
segala gaya. Nana mengaku puas.
Setelah lulus, Nana menikah dan
tinggal di Palembang. Sejak itu tidak ada kabarnya. Dan, ketika pulang
ke Yogya bersama anaknya, aku berjumpa di rumah bude.
"Mas Danu, mau nyoba lagi?" bisiknya lirih.
Aku hanya mengangguk.
"Masih gede juga?" tanyanya menggoda.
"Ya, tambah gede dong."
Dan malamnya, aku menyambangi di hotel tempatnya menginap. Pertarungan pun kembali terjadi dalam posisi sama-sama telah matang.
"Mas Danu, Mbak Tari sudah bisa dipakai belum?" tanyanya.
"Belum, dokter melarangnya," kataku berbohong.
Dan, Nana pun malam itu mencoba melayaniku hingga kami sama-sama terpuaskan.
Join Facebook dan Follow Twitter Kami
Judul : Cerita Dewasa : Ngentot Anak Sulung Tante
Deskripsi : Artikel ini menginformasikan tentang Cerita Dewasa : Ngentot Anak Sulung Tante secara lengkap dan detail.