Cerita Sex : Saya seorang dukun
Saya kirimkan cerita berikut ini dan mungkin banyak cerno lainnya,
dengan itikad benar-benar untuk kebaikan. Artinya, ini cerita khusus
buat pasangan suami istri yang memerlukan stimulan agar bisa bergairah
sebelum turun arena. Hitung-hitung ini semacam obat perangsang gratis,
untuk menambah dan memperkaya sensasi seksual pasangan masing-masing,
Tapi kalau kemudian ada remaja di bawah umur yang membacanya, lalu
berbuat mesum sehingga berdosa, saya benar-benar merasa ikut bersalah.
Jadi mohon bagi yang di bawah umur atau belum kawin, jika membawa
cerita-cerita dari saya, lampiaskan saja nafsu Anda dengan berswalayan
ria. Mudah, murah, dan tak berdosa, ketimbang mengincar areal suci sang
pacar, apalagi tetangga
.Pernah berpikir
untuk jadi dukun? Sejak kecil saya tidak membayangkan punya niat
menggeluti profesi yang rentan dengan dosa itu. Jadi kalau mendadak
saya mandah dianggap dukun, pasti ada sesuat yang luar biasa sedang
terjadi dengan diri saya. Sesuatu yang hebat, sekaligus.., Ceritanya
begini..
Saya punya tetangga, sepasang suami istri yang kelihatan
hidup cukup bahagia. Punya rumah lumayan besar dan dua pembantu. Tapi
ada yang kurang dengan suami istri bernama Irawan dan Retno itu.
Seorang anak. Padahal, mereka bilang dengan saya sudah menikah lebih
dari 15 tahun. Usia keduanya, sekitar 36 tahun. Cukup berumur. Tapi
lantaran tidak punya anak, Retno sang istri yang berwajah manis dan
bertubuh sintal itu, tetap saja menarik. Bahkan sangat menarik,
sehingga bagi saya yang masih lajang meski sudah 30 tahun ini, wanita
itu punya magnit sensasi yang kadang menggetarkan. Aura sensual yang
merangsang
.Perasaan ini timbul sesudah
kami mengobrol bertiga. Sang istri yang berlesung pipit itu, kadang
tertawa dengan nada suara yang entah bagaimana, membuat saudara saya
yang di dalam celana ini berdenyut-denyut. Sialan betul. Kok itu malah
tidak terjadi ketika pacar saya kadang memegang anu saya jika boncengan
sepeda motor.
Karena itu, secara iseng, suatu hari di depan suaminya
sendiri, saya mengatakan, "Mbak Retno (begitu saya memanggilnya) punya
bakat bagus bermain drama."
Eh ternyata dimasa remajanya, wanita ini memang suka pentas
.Saya
tadi sudah bilang, sejak kecil apalagi sekarang, amit-amit, saya tidak
pernah terpikir untuk jadi dukun. Namun lucunya, mungkin karena sedang
bersiasat untuk diam-diam kadang mencari cara menyanjung Mbak Retno,
yang jujur saja memang saya kagumi, saya sering membuat semacam ramalan
plus pemikiran-pemikiran yang cendrung futuristik mengenai tetangga
saya ini. Misalnya, saya katakan bahwa bentuk jari Mbak Retno
menggambarkan dia sebagai wanita yang mudah tersinggung, ekslusif, punya
kemauan keras, tetapi gampang terseok oleh orang-orang yang bermulut
manis. Dia akan hidup bahagia jika menggeluti bisnis mode atau busana.
Sedang suaminya yang punya tahi lalat di leher, serta di punggung tangan
kanan, saya katakan tidak cocok bekerja di bidang percetakan dan
sering merasa dirinya menyimpan banyak penyakit. Dia nantinya akan
menjadi pemimpin di sebuah perusahaan properti
.Lha
hebatnya (asbun saya itu), ternyata mengena di hati keduanya.
Setidaknya, begitu awalnya yang saya ketahui. Sampai kemudian saya
sadar, itu boleh jadi bagian dari strategi yang mungkin juga disusun
pasangan yang sangat menyukai saya, karena mereka anggap menarik dan
humoris ini
.Suatu sore, Mas Irawan
bicara serius dengan saya. Entah dapat bisikan dari mana, Si Suami yang
sebenarnya ganteng tapi suka ketawa cekikikan seperti Leak ini,
menyampaikan sesuatu yang akhirnya membuat jantung saya kontan bagai
diguncang gempa.
"Dik Boby.., jangan tersinggung ya.. kalau Saya
punya keyakinan, bahwa Adik ini punya kemampuan supernatural
tersembunyi. Soalnya, apa yang Adik katakan tentang Saya maupun Dik
Retno selalu saja tepat. Dan menurut Istri saya, Dik Boby memiliki
pengaruh tersembunyi yang sangat kuat. Dik Boby ini punya kemampuan
sebagai Dukun..?"
"Dukun..? Ya Tuhan..! Mas Irawan jangan main-main.." kata saya dengan terbelalak.
"Adik
jangan pura-pura tidak tahu. Terus terang saja, Saya dan Istri saya
perlu bantuan Adik. Khususnya Istri saya Ini, untuk masalah yang sedang
dihadapi Istri saya sekarang. Kami sudah ke dokter tapi masih tetap
juga gagal untuk memperoleh anak. Saya pikir dukun mungkin salah satu
alternatif ketimbang tidak mengusahakan apa-apa. Siapa tahu Istri saya
mendadak jadi subur."
Perkataan ini, sejenak menghentikan niat
saya untuk mati-matian menyangkal dugaan konyolnya itu. Hubungan antara
kata-kata dukun dengan istrinya itu, secara reflek membangkitkan
pikiran kotor saya yang menarik, sangat menarik, sekaligus
menggairahkan.
"Maaf Dik Boby.. Saya dan Dik Retno, entah bagaimana,
sekarang ini punya keyakinan, jika Adik mau memandikan Istri saya, maka
Kami kemungkinan akan memperoleh sebuah harapan baru. Ini agak konyol
dan mungkin tidak nalar untuk orang-orang sekelas Kita. Tapi pada saat
Kita dihadapkan kepada jalan buntu, kadang Kita juga dituntut untuk
memikirkan cara lain yang agak aneh agar bisa menemukan jalan lain yang
sangat Kita butuhkan. Iya kan..?"
Rasanya itu tetap tidak
nyambung. Tapi memandikan istrinya yang sintal itu, wow.. Ini membuat
jantung saya mendadak bagai diguncang gempa berskala tinggi.
"Maksud Mas Irawan.., Saya harus memandikan Mbak Retno..?"
"Kau
memang malu jika ada Aku, Tidak. Tidak begitu. Kau nanti hanya
berduaan dengan Dik Retno. Tak usah sungkan, Kita sudah seperti
bersaudara. Dik Retno juga sudah setuju. Yang penting, keinginan Kami
ini bisa Dik penuhi. Kami sangat berharap. Percayalah, Kita harus bisa
saling membantu karena Dik Boby, Saya anggap sudah seperti saudara
sendiri."
"Seperti bersaudara..? Lalu Istrimu diminta dimandikan oleh
Si Saudaramu yang sedang menyimpan pikiran kotor ini..? Edan betul nih
orang. Belum tahu dia. Saya ini bukan Malaikat. Saya adalah mahluk
yang penuh nafsu." pikir saya.
Yah setelah berbasa-basi,
bersilat lidah, dan saya bersikap sok alim, akhirnya rencana
bodoh-bodoh pintar alias konyol dan seperti tidak masuk akal ini,
disepakati akan dilaksanakan pada malam Minggu nanti. Saya akan
memandikan Retno Cyntia Arumdaning yang sintal menggairahkan itu di
dalam kamar mandi, tanpa kehadiran suaminya. Apa itu tidak bikin celana
saya kontan sesak, karena penghuninya menggeliat bangun dengan
garang..?
Seri VUSI: Sayalah Sang Dukun (2)Agar saya tidak
kelihatan konyol, karena datang ke rumah suami istri itu dengan celana
yang menyiratkan penghuninya lagi bangun secara kurang ajar, maka saya
sengaja memakai celana dalam agak ketat. Sehingga kalau Saudara Kecil
saya ini nanti terus saja berdiri, maka dari luar, tetap akan tampak
seperti tidak ada masalah apa-apa. Tenang, tentram. Meski ini kasus
bagai api dalam sekam. Di luar tenang, di dalam bergejolak.
Mas
Irawan kemudian menyuruh saya dan Mbak Retno yang kelihatan sangat
malu, dan gugup, bahkan agak gemetar, masuk ke dalam kamar mandi. Sedang
Irawan sendiri, mengatakan akan menunggu di kamar tamu.
"Atau nanti Saya akan keluar sebentar untuk cari makanan kecil..," ujarnya dengan wajah sungguh-sungguh.
Saya
mencoba berbasa-basi dengan memaksanya ikut masuk ke dalam. Tapi
lelaki itu secara tegas menolak. Jantung saya benar-benar berdebar-debar
kencang dan penis saya sakit, karena seperti dipaksa tetap berada di
dalam sebatang koteka, padahal dia lagi mekar-mekarnya.
"Tapi
Saya memandikan Mbak Retno tetap masih harus dengan pakaian kan..?"
tanya saya berpura-pura menolak jika wanita ini telanjang, padahal otak
kurang ajar saya bertentangan dengan itu.
"Saya pakai sarung.." kata
wanita manis yang sepasang buah dada montoknya terkadang saya hayalkan
sambil bermasturbasi ria itu, mewakili suaminya menjawab.
Saya memandangnya sambil tersenyum.
Setelah kami masuk ke dalam kamar mandi, Irawan menutup pintu itu dari luar.
"Saya
percaya dengan Dik Boby, Saya sudah anggap Adik seperti saudara
sendiri. Sekarang Saya mau ke pasar, beli makanan kecil untuk nanti.
Kira-kira satu jam mungkin.." katanya.
"Bah gila betul orang itu. Ini nantinya bakal jadi apa..? Konyol betul saudara saya yang satu itu." batinku.
"Apa
Saya memandikan Mbak dengan pakaian begini..?" tanya saya kepada Mbak
Retno yang terlihat terus berusaha menghindari tatapan saya karena
malu.
"Terserah Mas saja. Tapi apa nanti tidak basah..?"
"Oh betul
juga..," kata saya sambil membuka baju dan celana panjang saya dengan
nafas sesak serta tubuh bagai meriang panas karena nafsu yang meradang
naik.
Untungnya, Mbak Retno memilih membelakangi saya, sehingga tidak
melihat betapa bagian depan celana dalam ketat saya seperti
menyembunyikan sebuah senter.
Wanita sintal itu kemudian duduk
di atas sebuah bangku kecil yang tampaknya memang sudah disediakan di
dalam WC yang cukup luas dan mewah itu. Mbak Retno hanya mengenakan
sarung yang dikenakan dari atas payudaranya yang montok.
"Maaf kalau Saya agak gugup Mbak..?" kata saya dengan suara rada gemetar.
Mbak Retno mengangguk. Posisi duduknya, saya arahkan menghadap ke kaca besar di depan.
"Saya
minta Mbak memejamkan mata dan menghayati proses ini, sambil berdoa
semoga apa yang Mbak inginkian tercapai..!" tambah saya sambil
mengambil gayung di samping bak dan mulai menyiram tubuh sintal itu.
Baru
sekarang saya bisa menyaksikannya secara dekat. Bau harum tubuhnya
yang merangsang, membuat badan saya semakin panas dingin.
Siraman
demi siraman saya lakukan, sehingga sekujur tubuh yang menggairahkan
itu benar-benar basah kuyup. Lalu saya mulai mengusap-usap bahunya.
Sentuhan tangan saya kelihatannya membuat Mbak Retno agak tersentak.
Dia kemudian menggeleng dan mengatakan tidak apa-apa, ketika saya minta
maaf. Matanya terus dipejamkan, sehingga saya bisa meyaksikan
kondisinya yang luar biasa menggairahkan.
Saya lupa, apakah
mengusap dan memijat tubuh sintal ini juga menjadi kesepakatan saya
dengan Mas Irawan. Yang pasti, saya melakukannya. Entah berapa menit,
sampai kemudian sarung wanita itu terlepas. Mbak Retno menutupi kedua
buah dadanya yang montok itu, namun kemudian dia melengguh saat tangan
saya menyelusup dari belakang menggantikan tangan itu. Tubuhnya
bergetar.Saya tidak tahu, bagaimana persisnya perasaan wanita ini. Dan
saya juga lupa memperhitungkan, apakah ada kemungkinannya dia menjerit
memanggil suaminya, jika ulah saya berlanjut semakin gila. Pokoknya
otak saya sudah susah dipakai, karena gairah yang dalam beberapa waktu
terakhir ini, saya terus lampiaskan dengan berswalayan sejak Irawan
mengajukan permintaannya yang membuat saya bagai dapat durian Bangkok
runtuh ini.
Sekarang saya dalam posisi mendekap Mbak Retno dari
belakang, sambil meremas-remas buah dadanya yang basah dan licin,
karena saya beri sabun.
"Saya ingin mempersiapkan payudara ini untuk
menyambut kedatangan anak Mbak.." bisik saya dengan konyol. Dan sama
konyolnya, Mbak Retno mengangguk percaya.
"Selain Mas Irawan, juga ada yang meremas ini Mbak..?" bisik saya lagi.
Mbak
Retno menggeleng. Saya menempelkan mulut saya di belakang telinga
wanita yang berbau harum itu. Secara sengaja menghembuskan nafas di
sana, membuat mata wanita ini semkin kuat dipejamkan, namun mulutnya
terbuka menahan geli yang merangsang.
"Angkat kedua tangan Mbak ke atas, berpegang di rambut saya.."
Wanita
itu menurut dan saya menyaksikan ketiaknya yang tanpa bulu, karena
habis dicukur. Tangan saya pelan-pelan turun ke bawah. Wanita ini
kelihatan meregang dan menekuk tubuhnya ke belakang, sehingga sepasang
buah dadanya yang besar kian menonjol ke depan. Bukan main. Saya semakin
menyadari, bahwa acara mandi dukun ini akan berubah total menjadi
mandi kucing dan selanjutnya menjadi mandi pengantin lalu kawin anjing
atau entah apa istilahnya.
Tangan kanan saya sekarang berada di
dalam celana pendek Mbak Retno. Mengusap, menggosok, meremas, lalu
mengorek ke bagian dalamnya. Terutama (seperti sudah kewajiban)
mengait-ngait klitorisnya.
"Aaahh.." Mbak Retno bagai terpekik.
Tangan
kiri saya dengan giat mengusapi buah dada dan ketiaknya, sedang tangan
kanan merangsang bagian bawah tiubuh wanita ini. Seluruh kemampuan dan
pengalaman yang ada, saya kerahkan untuk membangkitkan voltase nafsu
wanita ini setinggi-tingginya.
"Mbak mau ya..?" bisik saya.
Wanita
itu tidak menyahut, meskipun saya mengetahui dengan yakin kalau dia
sangat menginginkan acara ini berkembang lebih jauh. Tapi mungkin agar
seolah tidak sampai merasa kehilangan harga diri (meski kalau mau
diginiin di mana harga dirinya?), dia tidak menyahut.
Saya
kembali bertanya dan dia justru terpekik kecil saat jari tengah saya
merasuk sangat dalam ke liang vaginanya. Nafasnya menderu kencang.
Terengah-engah, bagai kuda beban menghela muatan yang sangat berat.
Tangannya dengan kuat menarik rambut saya, membuat saya sekejap ingat
dengan jambakan tangan Ibu saya di masa kecil, ketika suatu hari
ketahuan nakal mengintip kakak Ipar saya yang lagi bersetubuh dari balik
lubang kunci. Perangsangan itu berlangsung cukup lama. Tak apa.
Suaminya kan lagi tidak ada di rumah ini.
Saya berusaha
mengangkat tubuh Mbak Retno agar berdiri. Dia melakukan itu dengan agak
susah payah. Jelas, wanita ini menjadi lemah karena nafsu yang
menggelora. Sekarang dia benar-benar dalam kondisi polos ketika sarung
dan celana dalamnya sudah saya lepaskan di lantai. Dia menatap saya
lewat kaca di depan dengan mata sayu. Dia juga pasti merasakan penis
saya yang tegang dari balik celana saya yang menempel ketat di
pantatnya. Saya mengangkat tangan kanannya ke atas dan memintanya
berpegangan di rambut saya, sedang tangannya yang lain saya biarkan
bebas.
Pelan-pelan, kedua tangan saya menyusuri kedua buah dadanya yang montok.
"Saya tak pernah menyaksikan payudara yang begini merangsang.." gombal saya.
Wanita ini menggigil ketika kedua ujung puitingnya saya pelintir dengan lembut.
"Mbak mau main dengan Saya..?"
Mbak
Retno tidak menyahut. Sebagai jawaban, sebelah tangannya secara pelan
merayap ke belakang. Saya sadar, apa yang dicarinya. Selesai sudah.
Sekarang tidak perlu ada kepura-puraan lagi. Tidak perlu ada acara
mandi-mandian lagi. Saya segera menanggalkan celana pendek saya.
Saudara kecil kebanggaan saya yang sekeras gada Hansip dengan kepalanya
yang lebar berkilat itu segera mendongak muncul dengan lega melihat
dunia. Mbak Retno segera menangkapnya. Meremas gemetar.
"Begini besar Mas..?" bisiknya tanpa sadar.
"Akan menjadi lebih besar jika masuk ke dalam punyamu.." jawab saya tidak kalah porno.
Saya
segera membalikkan tubuh wanita itu, lalu mencium bibirnya. Tangan
saya dengan sibuk meremas buah dada dan vaginanya, sementara punya saya
diremas dan kadang dikocok-kocoknya. Saya mengangkat tubuh wanita
sintal itu dan mendudukkannya ke bibir meja toilet. Sebelah kakinya,
saya pijakkan ke bangku kecil yang didudukinya tadi, sedang kaki yang
lainnya menginjak bak mandi.
Saya berlutut dan mulai melakukan
salah satu kegiatan seks yang saya sukai, cunnalingus. Menjilat,
mengigigit-gigit kecil, mengisap serta memutar-mutarkan lidah dan
berusaha dimasukkan sedalam-dalamnya ke liang vagina wanita ini yang
tidak berbau, kecuali semerbak oleh aroma merangsang yang ditimbulkan
dari cairan pembersih wanita yang mungkin tadi dipakainya.
"Maass.." Mbak Retno merintih.
Berpegangan
di meja toilet itu dengan tubuh gemetar dan tersentak-sentak setiap
lidah saya merangsang bagian paling peka di vaginanya. Hanya sekitar
dua menit, tiba-tiba wanita ini bergerak gelisah. Pahanya mengangkang
semakin lebar. Tangan saya cepat menangkap buah dadanya, lalu memeras
lebih keras serta menghisap klitorisnya dengan gerakan cepat. Itu pola
saya jika mengetahui lawan saya bakal orgasme.
"Maass.., Maass.., Mas Boby.., aku.. aku, oohh.. oohh.." desahnya tak karuan.
Mbak
Retno tiba-tiba menggeliat dengan keras, sehingga saya perlu tenaga
ekstra untuk menahan gerakan liar tubuhnya. Kepalanya beberapa kali
terlempar ke belakang lalu dengan kasar vaginanya disorongkan ke depan
untuk memaksa lidah saya masuk lebih dalam. Gelombang orgasme itu
berlangsung sekitar sepuluh detik. Saya cepat merangkul tubuh wanita
yang sintal itu. Mbak Retno menyembunyikan wajahnya di balik telinga
saya. Saya sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya. Yang jelas,
sekarang saya akan memulai permainan sesungguhnya.
Wajahnya saya
tatap dengan mesra. Setelah memuji kecantikannya, saya mulai menciumi
bibirnya, lalu lehernya. Kemudian menyusur turun ke buah dadanya yang
tadi telah saya siram dengan air untuk menghilangkan busa sabun yang
melengket disana. Wanita ini tiba-tiba mendorong tubuh saya. Meminta
saya duduk di meja toilet, lalu menciumi penis saya yang sudah hampir
mencapai tingkat kekerasan tertingginya.
Wanita ini benar-benar
ahli dalam hal mengisap penis lelaki. Dan setiap saya mengerang menahan
nikmat, dia juga ikut mengerang, mungkin karena sangat terangsang
mendengar erangan nikmat saya. Dia memasukkan kepala penis saya ke
dalam mulutnya. Tidak ada gerakan kepalanya yang turun naik, yang ada
hanyalah sedotan yang dia lakukan secara demikian ahli, sehingga saya
merasakan gabungan berbagai rasa nikmat yang menggeletar sampai ke
ubun-ubun. Saya menggigil dan membungkuk untuk menahan sensasi luar
biasa itu. Berjuang untuk tidak sampai ambrol. Malu lah awak yang sudah
dianggap dukun ini, kalau jadi Edy Tansil yang tidak sabar untuk
keluar, padahal urusan di penjara belum lagi selesai.
Saya
biarkan wanita itu merangsang penis saya. Jilatannya pelan-pelan
menurun ke bawah, terus ke bawah seraya tangannya menarik kemudian
mengangkat sebelah paha saya ke atas. Itu membuat saya akhirnya
membungkuk di depan toilet, saya membelakanginya. Astaga! Wanita itu
mulai menjilati anus saya dengan sangat ahli. Saya segera berbalik dan
ganti memposisikan dirinya seperti itu. Sekarang jilatan saya menggilas
seluruh permukaan punggungnya sebelum turun ke pantat. Mbak Retno
membentangkan kedua belah kakinya serta mengangkat pinggulnya lebih
tinggi ke atas. Posisi itu membuat anusnya terbuka. Saya segera
menjilatinya dengan rakus.
"Aaahh.." Wanita itu merintih.
Pinggulnya semakin tinggi dinaikkan dan sasaran saya berganti ke vaginanya yang merekah merah.
"Mas Boby.., cepat masukkan.., masukkan Mas.. Ayo..!" Dia menggeliat-geliat tidak sabar.
Tanpa
diminta dua kali, penis saya yang memang sudah tidak sabar, segera
saya arahkan ke bibir vaginanya. Begitu saya tekan, dia menjerit karena
nikmat. Kemudian semuanya saya benamkan sekaligus.
"Maass.., kenapa begini enak..? Punya Mas enak sekali. Betul Mas. Ini enak sekali. Ayo Mas cepat masukkan lebih dalam lagi..!"
Penisku
kutekan lebih dalam lagi. Mbak Retno berpegangan dengan kuat di
toilet. Pinggulnya yang besar itu kuremas dengan kasar, lalu tembakan
gencar penisku mulai berlangsung. Mata Mbak Retno terbeliak. Dia
menatapku dari depan cermin. Aku kian bersemangat memompa.
"Aduh Mas, enaknya.. Enak sekali Mas Boby.."
"Bagaimana dengan Mas Irawan..?" tanyaku dengan nafas memburu.
"Punya
Mas lebih enak lagi.. Aku tidak tahan.., Punya Mas mengaduk-aduk
punyaku di dalam. Dalam sekali Mas Aku keenakan..," dia mencerocos
dengan kalimat porno itu secara tidak sadar.
Hal ini membuatku tambah
bersemangat memacu. Mbak Retno semakin tinggi mengangkat pinggulnya.
Bagian dalam vaginanya terus berdenyut-denyut dan semakin berkontraksi
menangkap penisku.
Mbak Retno tiba-tiba menjerit dengan tubuh
mengejang. Dia kembali orgasme. Saya tidak menghentikan gerakan dan
terus memompanya. Kemudian saya membalikkan tubuhnya, lalu
mendudukkannya di atas paha saya yang sudah terlebih dahulu duduk di
atas kursi kecil itu. Dengan tergesa-gesa, penisku kumasukkan ke dalam
vaginanya. Sekarang dia yang saya gerakkan secara ritmis mundur-maju.
Bibir kucium dan kedua buah dadanya kuremas penuh nafsu. Gerakannya
semakin lama semakin cepat. Gairahnya kembali bangkit. Kali ini dia
sendiri yang secara bersemangat membuat gerakan. Kadang-kadang dia
mengambil posisi yang membuat penisku masuk sangat dalam ke dasar mulut
rahimnya. Mulutnya langsung ternganga antara menahan rasa agak nyeri
dan nikmat yang menggila.
"Aku sudah mau keluar Mbak..!" kataku dengan nafas memburu.
"Aku juga Dik Boby.. Aku juga.. Ayo, sekarang Mbak hitung, Mbak hitung sampai sepuluh..!"
Dia
berkata dengan mata melotot serta terengah-engah. Hitungan itu segera
dilakukannya. Saya mengatur tempo antar bilangan itu dengan titik
orgasme saya. Dan tepat pada hitungan ke delapan, gerakan Mbak Retno
berubah semakin liar dan gila. Sangat cepat dan kasar. Kami saling
berpagut berciuman, saling menggeram. Lalu merasakan nikmat luar biasa
itu datang bagai gemuruh gelombang yang saling beriringan. Mendebur
menghantam serta menghanyutkan. Usai sudah.
"Saya tidak memandikan Mbak..," bisikku kemudian.
Mbak
Retno tertawa kecil, "Mas Irawan juga tidak akan tahu. Kita ngomong
aja tak terjadi apa-apa. Dik Boby harus bersikap wajar..!" pesannya.
"Ya.. Kita harus saling bersandiwara".
Beberapa
hari setelah peristiwa itu, saya semakin sadar bahwa sandiwara itu
hanya prilaku bodoh. Nonsenlah kalau Mas Irawan tidak tahu apa yang
akan terjadi antara seorang wanita bahenol yang hanya mengenakan sarung,
dengan pemuda lajang, di dalam sebuah kamar mandi berduaan. Apa lagi
si pemuda diijinkan menyentuh tubuh si wanita. Saya kira, keyakinannya
tentang masalah dukun itu hanyalah siasat belaka. Mas Irawan
kemungkinan memang mandul, tetapi ingin punya anak, meski itu dari
bibit atau sperma orang lain. Dan orang yang dipilih itu adalah saya.
Lalu saya sendiri, menyambut kesempatan itu dengan antusias, meski
tidak soal harus dianggap dukun. Kalau jadi Dukun yang keenakan, bagi
saya itu sih tidak jadi soal.
TAMAT