Cerita Sex : Cinta lokasi
Kuperkenalkan diriku sebagai Bayu, pria berkeluarga berusia 42 tahun
yang tinggal di Jakarta. Aku mempunyai 2 orang anak berumur 7 dan 3,5
tahun dan bekerja di sebuah perusahaan jasa pemborong bidang
telekomunikasi sebagai seorang supervisor lapangan.
Konsekuensi
dari jabatanku diatas adalah aku lebih banyak menghabiskan hidupku di
lapangan daripada di rumah berkumpul bersama istri dan anak-anakku.
Akibatnya aku sering merasa tidak dapat membendung gairah birahi yang
timbul karena lama tidak "campur" dengan istri. Sebagai jalan keluarnya
aku sering melakukan "Cinta Lokasi" berupa perselingkuhan dengan
wanita yang kukenal di tempat kerjaku. Terus terang sampai saat ini aku
belum pernah "jajan" dengan sembarang wanita yang tidak kukenal latar
belakangnya guna menghindari resiko tinggi yang bisa timbul seperti
penyakit kelamin atau bahkan HIV/AIDS.
Salah satu kisah "Cinta
Lokasi" ku adalah yang terjadi sekitar 4 tahun yang lalu ketika aku
bertugas di sebuah kota kabupaten di pulau Kalimantan selama 3 bulan
lebih, berawal dari usahaku mencari rumah sewaan yang akan kugunakan
sebagai tempat tinggal sekalian kantor proyek.
Setelah seminggu
aku menetap di sebuah hotel di kota S, akhirnya kudapatkan sebuah
paviliun milik Bapak Hendra yang cukup bagus dengan lingkungan yang
asri dengan garasi yang menyatu dengan teras dan terdiri atas 3 ruangan
di dalam: ruang tamu yang luas sehingga dapat kugunakan sebagai ruang
kerja sekaligus ruang makan, kamar tidur dengan kamar mandi didalam dan
ruang dapur. Ada pula halaman kecil di belakang rumah sekaligus tempat
jemur pakaian yang menyatu dengan halaman rumah induk tempat keluarga
Bapak Hendra tinggal.
Pada hari kedua tinggal di rumah Bapak
Hendra, pagi-pagi Ibu Hendra datang menemuiku ketika aku sedang
memanaskan mesin mobil dinasku sebelum berangkat kerja.
"Selamat pagi Pak Bayu, wah lagi siap-siap berangkat kerja nih" sapa Ibu Hendra berbasa-basi.
"Iya Bu, ada apa kok tumben Ibu pagi-pagi menemui saya?" tanyaku balas berbasa-basi.
"Itu
lho Pak, Ibu mau menawarkan orang untuk bantu membereskan rumah dan
cuci pakaian kalau Bapak memerlukannya" kata Ibu Hendra menerangkan
maksud kedatangannya.
"Oh, boleh Bu. Memang perlu sih, karena rasanya saya nggak bakal sempat beresin rumah dan cuci pakaian setiap hari" jawabku.
"Kalau
begitu Ibu akan minta keponakan yang tinggal di kota untuk bantu
Bapak, nanti dia biar tinggal di rumah Ibu" kata Ibu Hendra lagi.
"Memang keponakan Ibu sekarang sudah tidak sekolah atau bekerja?" tanyaku.
"Dia sekarang tinggal di rumah orang tuanya dan sedang menganggur" jawab Ibu Hendra.
"Boleh Bu, tapi berapa saya harus menggaji dia?" tanyaku lagi.
"Kalau
soal gaji nanti Pak Bayu langsung bicara sama dia saja, yang penting
dia bisa punya kesibukan soalnya Ibu kasihan lihat dia setiap hari
bengong saja di rumah" jawab Ibu Hendra.
"Lalu kapan kira-kira keponakan Ibu itu bisa datang?" tanyaku lagi.
"Secepatnya Ibu akan minta dia untuk kesini, bagaimana kalau hari Sabtu?" Ibu Hendra balik bertanya.
"Baiklah Bu, kalau begitu hari Sabtu nanti saya akan atur supaya bisa di rumah" jawabku.
Hari
Sabtu pagi sekitar jam 10:00 kudengar Ibu Hendra mengetuk pintu dapur
sambil memanggil namaku. Ketika pintu kubuka, kulihat Ibu Hendra sedang
berdiri bersama seorang wanita muda.
"Pak Bayu, kenalkan ini
Marni keponakan Ibu yang tempo hari diceritakan" kata Ibu Hendra
memperkenalkan keponakannya. Setelah berbasa-basi sebentar, Ibu Hendra
meninggalkan Marni bersamaku untuk mendapatkan pengarahan mengenai
tugas yang harus dikerjakannya.
Selesai memberikan pengarahan
kepada Marni, kuminta dia untuk membuat kunci duplikat pintu belakang
rumahku supaya setiap saat bisa masuk dan keluar tanpa perlu menungguku
bangun atau pulang kerja.
Sambil memberikan pengarahan sempat
pula aku memperhatikan penampilan fisik Marni yang tidak terlalu tinggi
tetapi cukup "berisi". Wajahnya menarik dengan rambut hitam pekat
sebahu serta bibir yang tipis dan mata agak sipit seperti umumnya
masyarakat setempat yang keturunan Cina. Dadanya padat walau tidak
terlalu besar, betisnya ramping tidak besar seperti talas Bogor dan
bagian yang paling menarik adalah pinggulnya yang bulat dan padat.
Seiring
dengan bergulirnya waktu dan seringnya bertemu, keakrabanku dengan
Marni kian bertambah. Ternyata dia seorang janda tanpa anak berusia 21
tahun dan telah 2 tahun ditinggal suaminya yang menikah lagi serta
tinggal di kota lain. Marni kini tak segan lagi memasuki rumahku
seperti dulu ketika baru mulai bekerja, bahkan tak jarang dia mandi sore
di rumahku dan menonton TV setelah menyelesaikan pekerjaannya.
Lama
kelamaan timbul hasratku untuk menjalin hubungan yang lebih dalam
dengan Marni, apalagi terasa kebutuhan biologisku telah menuntut untuk
dipenuhi setelah sekian lama tidak bertemu dengan istriku.
Suatu
hari Sabtu malam ketika aku pulang kerja jam 19:00, kudapati Marni
sedang menonton TV di ruang tamu rumahku mengenakan gaun kaus terusan
berwarna coklat tanpa lengan yang menempel ketat di tubuhnya dengan
sederet kancing di depan. Sungguh kontras dengan warna kulitnya dan
membuat Marni terlihat seksi karena lekuk-lekuk tubuhnya jelas terlihat.
"Lho, kok kamu belum pulang Mar?" tanyaku kepada Marni sambil memasuki rumah.
"Bapak
Hendra pergi ke luar kota sekeluarga menghadiri acara keluarga, Marni
nggak berani di rumah sendirian jadi numpang nonton TV disini saja"
jawab Marni.
"Kamu kenapa nggak ikut pergi?" tanyaku lagi.
"Ibu meminta Marni untuk tinggal supaya kalau Bapak perlu apa-apa ada yang bantuin" jawab Marni lagi.
"Oh, ya sudah kamu nonton disini saja dulu, tidak usah malu-malu" kataku kemudian sambil bergegas menuju kamar mandi.
"Terimakasih Pak" kata Marni sambil meneruskan menonton TV.
Setelah selesai mandi, dengan mengenakan baju kaus dan celana pendek aku kembali ke ruang tamu menemui Marni.
"Kamu sudah makan Mar?" tanyaku pada Marni.
"Sudah Pak, tadi Marni sempat makan di rumah Ibu" jawab Marni.
"Yang benar?" tanyaku lagi.
"Iya Pak" jawab Marni singkat.
"Kebetulan saya belum makan, mau nggak kamu menemani saya makan?" tanyaku lagi.
"Ah malu Pak, masak Marni yang menemani" jawab Marni tersipu.
"Habis saya harus minta ditemani siapa lagi?" tanyaku.
"Iya deh, tapi Marni nemani Bapak saja ya, soalnya Marni sudah kenyang betul" jawab Marni tak dapat menolak ajakanku.
"Terserah kamu, yang penting saya ada teman jalan daripada sendirian seperti orang bingung" lanjutku.
Kukeluarkan
mobilku dan kami meluncur menuju pusat kota tempat dimana banyak
terdapat warung makan kaki lima. Dalam mobil kami ngobrol dengan santai
sambil sekali-sekali melontarkan canda yang membuat Marni gemas sampai
berkali-kali mencubit paha dan lenganku.
Sesampainya di pusat
kota, kupilih tempat makan dimana kami bisa bersantap tanpa perlu turun
dari mobil sehingga dapat meneruskan obrolan dengan lebih leluasa
tanpa khawatir "privacy" kami terganggu. Kuarahkan pembicaraan kepada
hal-hal yang bersigat pribadi untuk menciptakan suasana romantis di
antara kami berdua.
"Mar, aku boleh tanya hal yang pribadi nggak?" tanyaku suatu saat.
"Boleh aja, mau tanya apa sih Pak?" balas Marni bertanya.
"Setelah sekian lama menjanda, ada nggak keinginan kamu untuk kawin lagi?" tanyaku lagi.
"Sebenarnya sih kepingin Pak, tapi nggak ada yang mau kawin sama orang kampung seperti Marni" jawab Marni merendah.
"Siapa bilang, pasti banyak yang naksir kamu soalnya kamu cantik Mar" pujiku mulai melancarkan rayuan.
"Ah, Bapak bisa aja" Marni menunduk tersipu sambil mencubit pahaku.
"Benar Mar, kalau kamu nggak nolak aku mau jadi pacar kamu" rayuku lagi. Marni menatapku sejenak lalu kembali menunduk tersipu.
"Nanti Bapak menyesal, Marni kan sudah janda, nggak murni lagi" jawab Marni kemudian.
"Janda
atau gadis nggak penting buat saya, yang penting kamu mau nggak jadi
pacar saya?" tanyaku lagi sambil memegang tangan Marni.
Marni
terkejut ketika tangannya kupegang, ada usaha untuk melepaskan
tangannya dari genggamanku. Tapi itu hanya sejenak, selanjutnya Marni
membiarkan tanganku bermain-main dengan jarinya.
"Nggak tahu Pak, Marni bingung harus jawab apa" Marni menjawab sambil terus menunduk.
Kuangkat dagu Marni dengan tanganku yang satu sehingga mata kami beradu pandang.
"Kamu
nggak usah bingung Mar, cukup jawab dengan mengangguk kalau mau atau
menggeleng kalau nggak mau" kataku mencoba mencairkan ketegangan batin
yang dirasakan oleh Marni.
Marni tidak menjawab, dia kembali menunduk tidak berani menatapku.
Kutarik
tangan Marni dan kukecup lembut ujung jarinya, dia kembali terkejut
dan memandangku sambil berusaha untuk menarik tangannya tapi kutahan.
"Kalau diam berarti mau kan?" serangku lagi.
"Nggak tahu ah, Pak" akhirnya Marni berani menjawab sambil menarik tangannya dan balas menyerang dengan mencubit perutku.
"Auw, sakit Mar" kataku sambil mencoba menghindari serangannya.
"Biarin, habis Bapak bandel" kata Marni sambil mecoba kembali mencubitku.
Kutangkap
tangan Marni dan kutatap matanya. Kutarik tangan Marni sehingga
tubuhnya mendekat kearahku dan wajah kami hampir bersentuhan. Lalu
tanpa meminta izin kepadanya kukecup lembut bibir Marni.
Marni
berusaha menghindar tetapi terasa perlawanannya tidaklah
sungguh-sungguh sehingga aku berhasil mengecup bibirnya beberapa kali
lagi. Kemudian bibir Marni merekah seakan mengizinkanku untuk
mengulumnya dan akhirnya kamipun larut dalam ciuman yang hangat dengan
saling mengulum bibir. Kurasakan tubuh Marni bergetar halus ketika kami
berciuman.
Ketika kami menghentikan ciuman, wajah Marni kembali tertunduk menghindari tatapanku. "Marni jadi malu, Pak" katanya tersipu.
"Malu sama siapa Mar?" tanyaku sambil membelai pipi Marni.
"Malu sama Bapak, soalnya gemetaran waktu Bapak cium seperti anak yang baru pacaran saja" sambung Marni masih tertunduk.
"Kamu
sudah lama nggak merasakan ciuman ya?" tanyaku lagi. Marni tak
menjawab pertanyaanku, dia hanya mengangguk pelan sambil menatapku.
Kurebahkan
sandaran kursi Marni lalu kembali kukulum bibir Marni, kali ini dia
membalas mengulum bibirku dan memainkan lidahnya memilin lidahku. Kami
berciuman dengan hangatnya dan tangan kamipun mulai saling membelai dan
meraba. Kubelai wajah Marni dengan lembut lalu beralih ke lehernya
membuat tubuh Marni kembali bergetar menahan geli ketika tanganku
membelai daerah sensitif di belakang telinganya.
"Geli Pak" kata Marni sambil melepaskan ciuman.
"Tapi enak kan" kataku sambil kembali mengulum bibir Marni.
"Ehmm.." Marni hanya bergumam sambil membalas ciumanku.
Tanganku
terus aktif membelai leher Marni lalu perlahan-lahan turun dan mulai
membelai dengan lembut dadanya dari luar gaunnya yang ketat. Marni
memegang tanganku tanpa berusaha menahannya, remasan kuat terasa di
tanganku pertanda dia memintaku untuk meremas dadanya.
Kuremas
dada Marni dengan lembut, membuatnya mulai mengeluarkan desahan halus
di sela-sela ciumannya yang makin hangat di bibirku. Dengan kuat Marni
mendekap leherku dengan kedua tangannya dan rintihan halus makin sering
terdengar keluar dari mulutnya. Puting susu Marni pun terasa mulai
mengeras di balik gaunnya. Sambil terus berciuman tanganku membuka
kancing gaun Marni satu persatu sehingga tampaklah dadanya yang indah
terbungkus BH berwarna putih.
"Dada kamu bagus Mar" bisikku
sambil terus meremas dada Marni dari luar BH nya. Marni hanya diam
sambil memejamkan matanya seakan memberiku kesempatan untuk berbuat
lebih jauh dengan dadanya.
Kusingkapkan BH Marni ke atas dan
tampaklah puting susu yang berwarna kecoklatan basah oleh peluh yang
mulai membasahi tubuhnya. Kusentuhkan ujung lidahku menyapu lingkaran
di sekeliling puting Marni membuatnya menggelinjang menahan geli, lalu
dengan lembut kuhisap perlahan sambil memainkan ujung lidahku
menggelitik puting itu. Marni kian kuat mendekapkan kepalaku di dadanya
sambil mendesah dan merintih merasakan nikmat yang disalurkan oleh
lidahku di dadanya.
Selang beberapa saat ketika birahi sudah
semakin menguasai kami berdua, kulepaskan ciumanku sambil berbisik
untuk meneruskan percumbuan di rumah. Setelah merapikan pakaian kami
dan membayar harga makanan, kujalankan mobil menuju rumah sambil
sekali-sekali mencium Marni.
Dalam perjalanan pulang, Marni
merapatkan duduknya ke tubuhku sambil mengusap-usap dadaku dan
sekali-sekali mengecup leherku dari samping. Rasa geli yang timbul dari
usapan tangan Marni di dadaku dan kecupannya di leherku kubalas dengan
mengusapkan tanganku di paha Marni dan sedikit tersingkap gaunnya.
Ingin
rasanya aku mengusapkan tanganku pada paha Marni yang mulus itu sampai
ke pangkalnya, tapi masih kutahan untuk membuatnya penasaran dengan
hanya sekali-sekali meremas paha bagian dalamnya saja.
Sesampainya
di rumah kami kembali tenggelam dalam ciuman penuh nafsu sambil
berdiri berpelukan dan kuremas bergantian dada serta pinggul Marni yang
padat sampai akhirnya dia tak kuat berdiri dan menyandarkan tubuhnya
di dinding.
Sambil terus berciuman kubuka kancing gaun Marni dan
memelorotkannya sampai di pinggang lalu kubuka kancing pengait BH Marni
dan melepaskannya ke lantai. Kuremas dada Marni dan kumainkan kedua
putingnya dengan jari-jariku membuat Marni makin ganas melumat bibirku.
Kulepaskan
bibir Marni lalu perlahan kujelajahi leher dan dadanya dengan ciuman
dan jilatan disertai gigitan lembut yang menyebabkan bekas berwarna
merah. Tubuh Marni terus bergelinjangan merasakan kenikmatan dan desah
serta rintihannya makin sering terdengar di sela nafasnya yang mulai
memburu.
Dengan menyelipkan sebelah pahaku di antara kedua
pahanya, dengan penuh nafsu kuhisap kedua puting susu Marni bergantian
sambil menggelitikkan ujung lidahku dan meremasnya kuat-kuat.
Tak
puas dengan meremas dada Marni, kuturunkan tanganku dan kusingkap
gaunnya keatas sehingga dengan leluasa dapat kuremas kedua bongkah
pinggulnya yang bulat dan padat. Marni tak kuasa menahan birahinya,
dijepitnya sebelah pahaku dengan kedua pahanya dan digesek-gesekkannya
kemaluannya.
Lalu kuarahkan ciumanku menurun menuju perut Marni
dan menggelitiki pusarnya dengan lidahku sambil melepaskan gaunnya
sehingga kini dia hanya mengenakan celana dalam putih yang membungkus
kemaluannya yang menonjol dan telah basah.
Dengan berlutut di
hadapan Marni, kuusapkan jariku di belahan kemaluannya dari luar celana
dalamnya dan kuciumi pahanya yang mulus dan ditumbuhi bulu halus. Lalu
kuangkat sebelah kaki Marni ke pundakku dan kusapukan lidahku
menjilati bagian dalam pahanya.
Ketika kuarahkan bibirku ke
tonjolan kemaluannya, Marni mencoba menahan kepalaku karena tidak ingin
bagian yang paling pribadi itu kucumbu.
Kusibakkan kedua tangan
Marni ke samping sementara bibirku meneruskan serangannya dengan
mendaratkan ciuman di vagina Marni sambil menjilati belahannya dari
luar celana dalam.
Keinginan Marni untuk menahan seranganku
akhirnya hilang dan diapun menikmatinya dengan menekankan kepalaku ke
pangkal pahanya yang tak henti-hentinya meliuk dan terlihat celana
dalamnya makin basah oleh cairan birahi yang makin banyak keluar. Lalu
dengan jariku kusibak pinggiran calana dalam Marni untuk dapat
mengarahkan lidahku ke vaginanya yang ditumbuhi bulu yang tidak terlalu
lebat.
Desah dan rintihan Marni makin sering keluar dari
bibirnya dan kini diseling lengkingan kecil menandakan dia makin
terangsang dengan cumbuanku di bagian paling pribadinya. Sampai suatu
saat dengan menekan kepalaku dalam-dalam di selangkangannya, terasa
tubuh Marni bergetar sambil mulutnya mengeluarkan rintihan panjang
tanda telah dicapainya puncak kenikmatan dari cumbuan bibir dan
lidahku.
Aku berdiri dan kutatap tubuh Marni yang bersandar
lunglai di dinding lalu kucium bibirnya yang langsung dibalas dengan
penuh gemas sambil meremas bajuku.
"Enak sayang?" bisikku di telinganya.
"Aaahh.." Marni hanya mendesah tak dapat menjawab pertanyaanku.
Lalu
kubimbing Marni ke kamarku dan kududukkan dia di tempat tidur. Ketika
aku tengah melepas baju sambil berdiri, Marni meraih penisku dan
kurasakan kelembutan tangannya meremas dan mengurut penisku dari luar
celana pendekku.
Kubiarkan hal itu beberapa saat lalu kuminta
Marni untuk melepaskan celanaku yang dengan serta merta diturutinya
sambil sekaligus melepaskan celana dalamku.
"Marni mau balas mencumbu bapak" kata Marni sambil kembali menggenggam dan mengurut penisku.
Kurasakan
birahiku kian memuncak akibat melihat ekspresi Marni yang begitu
terangsang ketika kucumbu ditambah rasa nikmat dari tangannya yang
mempermainkan penis dan bijiku membuatku hampir tak dapat menahan
keinginan untuk menuntaskan percumbuan ini.
Tapi aku tak mau
cepat-cepat mengakhiri permainan. Aku ingin sekali lagi mencumbu Marni
sebelum memasukkan penisku kedalam lubang kemaluannya. Kubaringkan
Marni di pinggir ranjang, lalu kulepas celana dalamnya sambil jongkok
berlutut di lantai.
Kuangkat kedua kaki Marni ke atas pundakku
dan kubenamkan kepalaku di selangkangannya untuk kembali menyerang
kemaluannya yang indah itu.
"Marni nggak tahan, pak.." rintih
Marni sambil menjambak rambutku dan mencengkeram seprei tempat tidur
dengan tangan yang satu lagi sementara mulutnya tak henti-hentinya
mendesah. Tubuhnya berkelojotan menahan nikmat, pinggulnya tak henti
meliuk-liuk sambil sesekali terangkat, sementara kepalanya menggeleng
ke kanan dan ke kiri seperti orang kesurupan.
Tanpa
memperdulikan rintihan Marni, kuteruskan penjelajahan bibir dan lidahku
mengeksploitasi bagian paling pribadinya. Kusibakkan bibir kemaluan
Marni dengan dua jariku dan kusapu lubang kenikmatan serta klitorisnya
dengan lidahku.
Sambil lidahku terus menjilati klitorisnya,
kumasukkan satu jariku kedalam kemaluan Marni dan kuusap seluruh bagian
dalam rongga kenikmatannya sementara tanganku yang lain merayap naik
meremas dadanya.
Selang beberapa saat kembali tubuh Marni
bergetar dan dia mengangkat pinggulnya sambil menekan kepalaku
kuat-kuat ke selangkangannya pertanda pertahanan tubuhnya kembali bobol
menghadapi serangan kenikmatan yang kuberikan. Aku lalu berbaring di
ranjang dan kurengkuh tubuh Marni yang lunglai dan kutelungkupkan di
atas tubuhku.
Sambil membelai punggung Marni, kami berpelukan
cukup lama sampai terasa nafas Marni mulai normal kembali. Lalu kami
kembali berciuman saling melumat bibir dan berpilin lidah sementara
tanganku meremas kedua bongkah pinggul Marni yang kembali mulai
bergoyang menggesek-gesekkan kemaluannya ke penisku.
Kutahan tangan Marni ketika dia ingin meraih penisku dan memasukkan ke vaginanya.
"Jangan
dimasukin dulu sayang, gesek-gesekin aja dulu" bisikku di telinga
Marni sambil memintanya menjepit sebelah pahaku dengan kedua pahanya.
"Bapak jahat, Marni sudah nggak tahan.." erang Marni.
Lalu
kuminta Marni untuk mengangkat dadanya sambil terus menggesek-gesekkan
vaginanya ke pahaku sehingga kedua tanganku dapat dengan leluasa
meremas payudaranya dan mempermainkan putingnya serta melihat ekspresi
wajahnya yang seksi ketika terangsang.
Tiba-tiba tanpa kusadari
Marni menyelinapkan tubuhnya di antara kedua pahaku dan meraih penisku
dengan tangannya. Diurutnya penisku sambil perlahan menjulurkan
lidahnya menjilati batang penisku diseling dengan memutar-mutarkannya
di sekeliling "kepala burung" ku.
Makin lama gerakan lidah dan
tangan Marni di sekujur penisku makin intens, lalu dimasukkannya kepala
penisku kedalam mulutnya. Sementara tangannya mengurut batang penisku,
lidahnya bermain menjilati ujung penisku didalam mulutnya.
Luar
biasa kenikamatan yang kurasakan saat itu. Mulut Marni menghisap ujung
penisku dengan kuat sementara tangannya tak hentinya mengurut batang
penisku dan meremas kedua bijiku. Lalu sambil menatap wajahku sejenak,
dimasukkan seluruh batang penisku kedalam mulutnya dan mulai
memaju-mundurkan kepalanya melakukan gerakan memompa.
Hampir tak
tahan aku menerima rangsangan yang diberikan oleh Marni, kepala penisku
mulai tersasa berkedut-kedut tanda puncak kenikmatanku hampir
tercapai.
"Aku tak mau menyerah, aku harus merasakan puncak kenikmatanku bersama Marni" batinku dalam hati.
Kuputar
tubuhku sehingga kini kami sama-sama menyamping dalam posisi "69".
Kurengkuh pinggul Marni dan mendekatkannya ke wajahku lalu kusapu habis
kemaluan dan klitorisnya dengan jilatan dan hisapanku. Marni pun tak
mau kalah, diraihnya kembali batang penisku dan dimasukkan ke mulutnya.
Kepala Marni kembali maju-mundur memompa sambil sekali-sekali
dijilatinya bijiku dan dikocoknya penisku dengan tangannya.
Setelah
sekian kali merasakan klitorisnya kujilati dan kuhisap, Marni lalu
menelentangkan tubuhku dan menaikinya. Direnggangkan kedua kakinya dan
perlahan-lahan ditekannya pinggulnya ke arah pinggulku sehingga penisku
dengan sendirinya masuk kedalam kamaluannya yang telah basah kuyup
dengan disertai lengkingan kecil yang keluar dari mulutnya.
Tubuh
Marni rebah di atas tubuhku dan sejenak kami sama-sama diam meresapi
perasaan yang timbul di saat bertemunya dua perlambang kenikmatan
manusia menjadi satu. Lalu perlahan-lahan Marni mulai menggerakkan
pinggulnya naik-turun.
Makin lama gerakan tubuh Marni makin liar
kurasakan. Dengan bertumpu pada sebelah tangan dilumatnya bibirku dan
dipilinnya lidahku penuh nafsu sementara tangan yang satu lagi sibuk
meremas-remas payudaranya sendiri secara bergantian kiri dan kanan lalu
menyodorkannya ke mulutku memintaku untuk menghisapnya.
Kuminta
Marni untuk merebahkan tubuhnya ke belakang bertumpu pada kedua kedua
pahaku lalu kugosok-gosokkan klitorisnya dengan jariku untuk menambah
daya rangsang terhadapnya. Desah dan rintihan Marni kini berubah
menjadi lengkingan dan sekali-sekali dia memanggilku menyatakan
kenikmatan yang dirasakannya.
Setelah lelah memompa penisku,
Marni memelukku dengan kuat dan menggigit dadaku. Tubuhnya kembali
bergetar, ditekannya pinggulnya kuat-kuat ke pinggulku. Puncak
kenikmatan telah kembali dirasakannya.
"Marni nggak kuat lagi Pak.." rintihnya sambil memintaku untuk berguling berganti posisi.
Dengan
penisku masih terbenam didalam vagina Marni, kuposisikan tubuhku
berlutut di atas tubuh Marni dan kuangkat dadaku serta kugunakan kedua
tanganku untuk menyangga tubuhku menciptakan jarak di antara wajah Marni
dengan wajahku.
Marni berkali-kali mengangkat kepalanya mencoba
untuk menciumku tetapi tak pernah berhasil. Kumaju-mundurkan pinggulku
membuat gerakan keluar-masuk penisku dalam kemaluan Marni. Kadang
cepat, kadang lambat. Kadang kumasukkan seluruhnya, kadang hanya
kumasukkan ujungnya saja sambil meliuk-liukkan pinggulku. Marni menjadi
histeris dan lengkingannya makin keras keluar dari mulutnya.
Akhirnya
kurasakan perjuanganku meraih puncak kenikmatan hampir tercapai.
Kuminta Marni untuk merapatkan pahanya menjepit penisku dan dengan
beberapa kali tusukan keras, kutumpahkan seluruh cairan birahiku dalam
kemaluannya. Di saat yang bersamaan kurasakan tubuh Marni kembali
bergetar ketika dirasakannya penisku berkedutan di dalam kemaluannya
saat aku menumpahkan cairan birahiku. Sambil memelukku kuat-kuat,
dilentingkannya pinggulnya menghantam pinggulku dan terasa otot-otot
kemaluannya menjepit kuat penisku.
Beberapa saat kami terdiam
menikmati kepuasan yang tak terkira, lalu kugulingkan tubuhku ke
samping dan kurengkuh Marni kedalam pelukanku.
Seakan tak puas
dengan kenikmatan yang telah didapatkannya, Marni kembali menggenggam
penisku dan dengan lembut menyapukan lidahnya di sekujur batang penisku
dan membersihkan sisa-sisa sperma yang masih menempel bercampur dengan
cairan kenikmatannya sendiri.
Lalu kami tertidur sambil berpelukan tanpa sehelai benangpun menutupi tubuh sampai matahari bersinar terang di pagi hari.
Aku
terbangun ketika merasakan geli di selangkanganku dan kudapati Marni
telah bangun duluan dan sedang mengulum penisku. Lalu kamipun kembali
bercinta di ranjang dan di kamar mandi ketika bersama-sama membasuh
diri.
Setelah menganjurkan Marni untuk mengkonsumsi pil KB, kami
makin sering melepaskan dahaga birahi di rumahku dengan berbagai gaya
dan situasi. Kadang kami melakukannya semalaman bila keluarga Bapak
Hendra sedang ke luar kota, tapi tak jarang pula kami melakukannya
secara "instan" dengan mencuri-curi waktu di saat Marni sedang
melaksanakan pekerjaannya di rumahku.
Hubunganku dengan Marni
berakhir ketika masa tugasku di kota S berakhir, tapi kenangan
bersamanya tak pernah hilang sampai sekarang karena merupakan salah
satu yang terindah dalam petualangan cintaku.
Tamat
Join Facebook dan Follow Twitter Kami
Judul : Cerita Sex : Cinta lokasi
Deskripsi : Artikel ini menginformasikan tentang Cerita Sex : Cinta lokasi secara lengkap dan detail.