Cerita Sex : Alex, maafkan aku Satu masa telah terlewati
Benci dan rindu merasuk di kalbu
Ada apa dengan cintaku
Sulit untuk aku ungkap semua
Ini
adalah kisah lanjutan dari kedua kisahku sebelumnya. 'Kenangan Masa
Lalu' dan 'Aku, Pamanku Dan Sepupuku'. Sebelumnya aku mau berterima
kasih atas respon yang luar biasa dari para pembaca. Thanks banget. Aku
juga mau berterima kasih untuk 17Tahun.com yang mau menampilkan kisahku
ini. Mungkin aku sedikit naïf dengan cerita ini, tapi sekali lagi
mohon maaf jika "mungkin" tidak se'hot' dengan cerita lainnya karena
ini kisah asli. Kuambil kisah ini dari buku harianku yang sesungguhnya
ingin kulupakan dan kubuang. Masa-masa indah yang menyakitkan. Yang
coba kurangkum.
****
Selama kuliah, aku dapat mengatasi
gejolak hati ini. Aku sibuk dengan pekerjaan dan mengajar di bimbel.
Bahkan aku berusaha untuk menyukai seorang wanita, yang akhirnya
kandas. Tahun 1999 aku masuk sebuah organisasi kepemudaan (bukan
organisasi teroris loh).
Suatu hari seseorang yang tidak aku kenal tiba-tiba menyodoriku setumpuk brosur.
"Eh.. Kamu, bagiin brosur neh"
Aku
kaget karena tidak mengenalnya. Bahkan aku dibuat kesal saat itu
karena dia seakan-akan memerintah orang seperti pelayannya sendiri
sedangkan saat itu aku ingin pulang.
"Dasar tuh orang" pikirku sambil tetap membagikan brosur.
Setelah hampir 20 menit kulihat dia tidak ada.
"Wah,
dia mau lepas tanggung jawab ya" pikirku lagi. Aku segera membawa sisa
brosur dan kuberikan ke orang lain yang juga sedang membagikan brosur.
Aku beralasan ingin balik pulang.
Seminggu kemudian aku
ditugaskan didaerah utara Jakarta (maaf dirahasiakan). Saat turun dari
taksi, aku segera masuk dalam ruangan. Kuberikan jabat tangan dengan
orang-orang di sana sambil mengenalkan diriku hingga aku tertegun saat
seseorang juga memberikan jabat tangan. Ya, orang yang sok itu. Ia
tersenyum padaku.
"Oh, kamu yang bantuin aku waktu itu ya" katanya "Namaku Alex"
Sebenarnya aku agak kesal tapi saat melihatnya tersenyum, panas dihati jadi turun. Kusodorkan tanganku untuk berjabat tangan.
"Gunawan" kataku..
Saat
sedang makan siang, ia duduk disebelahku. Ia bercerita tentang dirinya
dan akupun terlibat dengan pembicaraannya. Kemudian ia menawarkan agar
saat pulang nanti bisa naik motor dengannya. Kupikir, kenapa nggak?
Bisa menghemat ongkos taksi.
Itulah awal perkenalan kami. Umurnya
saat itu masih 26 tahun sedangkan aku 21 tahun. Dia orang Chinese,
berasal dari Singkawang. Sifatnya periang, sanguinis, walaupun umurnya 5
tahun lebih tua dariku tapi kadang masih kekanak-kanakan. Selama enam
bulan pertama perkenalan kami, aku tidak memiliki perasaan yang sangat
khusus. Aku anggap dia sebagai seorang kawan yang baik. Kami selalu
pergi dan pulang bersama. Maklum, waktu itu aku belum memiliki
kendaraan, sehingga kalau pergi maka dia yang menjemput dan pulang
diantar. Pakai kuda besi lagi (motor, istilah yang ia buat), jadi lebih
cepat. Kalau dia yang bawa motor, maka aku duduk dibelakang sambil
memeluk pinggangnya, seperti orang yang lagi pacaran.
Kadang
kusenderkan tubuhku rapat dipunggungya. Kadang, kalau lagi iseng,
kuraba dadanya. Dia merasa geli. Atau kuletakkan tanganku dipahanya.
Kadang dia berkomentar "Ntar tegang nih". Aku tertawa. Kalau aku yang
bawa motor, maka giliran dia yang suka memegang dada dan perutku. Kalu
kami pergi kemall atau rstoran, ia mengandeng pingganku dan aku memegang
pundaknya. (karena dia lebih pendek dariku)Aku sangat senang bisa
berkenalan dan menjadi teman baginya, tapi bisakah bertahan?
Dia
selalu bercerita banyak tentang kehidupan masa lalunya. Sungguh,
kehidupannya penuh dengan wanita. Kulihat dari fisiknya, ia lebih pendek
sedikit dari aku, tapi wajahnya tampan. Pantas saja dikejar-kejar.
Mirip Andy Lau sih, cuman agak pendek.
Aku sangat senang jika ada
orang yang mau bercerita tentang dirinya kepadaku dan memberikan
kepercayaannya kepadaku. Dia melakukannya. Dia bercerita tentang
kehidupan masa lalunya saat di Batam dan Singapura. Dia sering bermain
dengan banyak wanita, bahkan Tante-Tante maupun pelacur di sana.
"Wah, anak ini straight banget", pikirku.
Dia
juga bercerita kalau ada kesempatan maka akan melakukannya dengan
berbagai tipe wanita didunia. Kami saling bercerita tentang apapun,
bahkan sampai ke panjang penis dan jenis CD segala. Wah, tidak ada
sesuatu yang ditutupi darinya. Aku berusaha agar ia tidak tahu bahwa aku
gay.
Desember 2000
Saat itu kami sedang mempersiapkan
sebuah acara ke daerah puncak. Aku dan Alex sebagai tim pertama yang
harus datang ketempat penginapan. Jadi tim akomodasilah. Jadi kami
berangkat pukul dua siang dari Jakarta. Setelah sampai di puncak, kami
mempersiapkan segala sesuatunya. Hari sudah menunjukkan pukul sepuluh
malam. Aku dan dia cukup lelah.
Kami berbaring di atas kasur.
Kulihat dia sedang kecapean. Kulirik wajahnya. Cukup tampan. Entah
kenapa aku senang jika berada dekat dengannya Merasa tenang dan damai..
Tapi aku tidak mau menunjukkan perasaanku itu karena aku berjanji pada
diriku sendiri untuk mengubah apa yang sudah kulalui. Kulirik lagi
dia. Dia tersenyum. Aku merasa senang. Itulah saat pertama kali
kurasakan bahwa aku sangat sayang padanya, bukan karena ketampanannya
atau bodynya, tapi karena dia seorang yang baik hati.
April 2001
Aku
jatuh sakit dan harus masuk rumah sakit karena demam berdarah. Kulihat
jam tanganku. Ah, masih setengah tiga siang. Masih lama jam besuknya.
Tiba-tiba kulihat seseorang berdiri didepan pintu. Aku langsung
tersenyum. Alex!
"Gimana bos! Enak nggak nginep di rumah sakit?" candanya.
"Mana enak. Apalagi tiap malem meriang. Kaya mau mati rasanya" seruku.
"Jangan
gitu. Entar aku kehilangan nih. Oh, ya. Aku nggak tahu mau bawa apa?
Habis kalau bawa buah takut nggak boleh. Ntar kalau bawa yang laen,
kamu malah nggak boleh makan" candanya lagi.
"Nggak usahlah. Udah dijenguk dan temenin juga syukur. Kok bisa masuk? Kan belum jam besuk?" tanyaku heran.
"Iya dong, Alex!". Aku tersenyum. Dasar sok jagoan, tapi aku seneng.
"Kata orang sih kalau sakit ginian minum air yang banyak sama pocari juga" kataku lagi.
Kemudian
kami terlibat dalam pembicaraan. Aku sangat senang karena ia mau
menemaniku. Aku tahu ia orangnya sibuk. Saat datang ke Jakarta, ia
tidak punya apa-apa. Saat pertama berkenalan dengankupun, ia memiliki
banyak hutang karena harus membuka toko di Mangga Dua. Tapi sekarang,
usahanya tambah maju sehingga ia sibuk sekali. Dan yang lebih
mengherankan lagi, dia orangnya super cuek. Apalagi kalau sama
teman-temannya yang lain. Dia kadang tidak peduli dengan keadaan
teman-temanku yang lain. Tapi, kenapa denganku tidak? Ia menemaniku
sampai jam besuk tiba. Ia bilang kalau sudah ada yang datang untuk
menemani aku, dia baru pulang. Thanks man!
Keesokan harinya ia
kembali datang pada jam yang hampir sama dengan kemarin. Aku kaget
dibuatnya. Dia bawa pocari yang banyak dan aqua besar beberapa botol.
Wah, perhatian bener dia.
"Pengen buat aku kembung ya?" kataku.
"Mau sembuh nggak? kalau kagak, diambil lagi nih!" serunya.
"Oke boss, tengkyu yee" jawabku senang.
"Oh, ya. Biar malem kamu nggak kesepian dan temenin meriangmu, nih, kubawa walkman sama beberapa kaset".
Kemudian
ia menyodorkan sebuah bungkusan. Didalamnya terdapat walkman Sonny
kepunyaannya dan beberapa kaset. Ah, dia memang baik! Kalau saja dia
tahu bahwa aku menyukainya.
Juni 2001
Kami berdua pergi ke
Surabaya dalam rangka menghadiri seminar. Aku dan dia sudah siap-siap
di Stasiun Gambir pada jam 8 malam. Kami naik Argo Bromo Anggrek yang
memerlukan perjalanan kira-kira 10 jam. Di dalam kereta kami banyak
bercerita dan bercanda. Sekitar jam 12 malam kami berdua sudah
kelelahan. Sementara AC kereta cukup dingin. Saat itu kami berdua
menghangatkan badan dengan saling berdekatan. Badan kami sudah tertutup
selimut. Tanpa terasa kepalaku sudah berada dipundaknya, kulihat dia
tidak keberatan.
Akupun tertidur dipundaknya, kereta sudah
memasuki stasiun pasar turi. Kulihat jam ditanganku menunjukkan pukul
limaan. Kami segera turun dan menuju ke hotel yang memang sudah
disiapkan. Sebuah hotel bintang empat. Ah, sebuah kamar yang nyaman
dengan sebuah kasurnya yang empuk. Siapa lagi kalau bukan Alex. Setiap
melihat kasur yang empuk, ia segera melompat keatasnya, melompat-lompat
seperti anak kecil, lalu mengacak-acak tempat tidur itu. Aku tertawa
dibuatnya. Setelah itu, ia bersiap untuk mandi.
Jantungku
berdegup saat ia melepaskan seluruh pakaiannya kecuali CD birunya
tonjolan di CDnya membuatku tertegun. Dadanya yang bidang membuat darah
ini serasa mengalir lebih cepat. Kucoba untuk curi-curi pandang namun
takut kalau ia mengetahuinya. Aku hanya menelan ludah.
Seharian
kami berada di luar hotel. Baru pulang lagi saat hari sudah malam. Aku
melepas lelah sambil mandi lalu menonton TV. Ia juga sudah selesai
mandi. Saat itu rasanya aku ingin tidur. Ngantuk sekali. Kucoba
baringkan diri dikasur. Tak lama ia juga baringkan dirinya dikasur. Aku
dekatkan kepalaku didadanya. Kembali ia tidak keberatan. Kepalaku ada
di atas dadanya. Kepeluk ia seperti guling. Kudekap dan rasanya tak
ingin kulepas. Ia diam saja. Kurasakan tonjolan dikedua pahanya. Ah,
seandainya dia gay! Aku tidak melancarkan apapun setelah itu. Hanya
memeluknya erat. Aku tidak berbuat apa-apa kecuali tidur sampai pagi.
Sepanjang
tahun 2001 hingga 2002 kami melakukan banyak hal. Apapun kami kerjakan
berdua. Kedekatan kami seperti kedekatan sepasang kekasih. Sangat
melekat. Aku tahu sidat dan karakternya, suasana hatinya. Diapun
demikian. Dimana ada aku, di situ ada dia. Juga sebaliknya. Jika orang
ingin cari aku, maka yang ditanya adalah Alex. Kalau orang ingin cari
Alex, maka yang ditanya adalah aku. Setiap pagi malah saling
membangunkan lewat telepon. Kami pernah mandi bersama namun tidak pernah
melakukan hubungan seks karena kutahu ia straight.. Hanya saling
memperhatikan saja. Itupun aku berusaha untuk tidak ereksi.
Sangat
sukar! Makanpun pernah sepiring berdua. Atau minum segelas berdua..
Kadang setiap dia punya acara, maka aku yang pasti diajaknya. Aku tetap
menghormati dia. Bahkan ia berjanji tidak akan mengulangi segala yang
ia lakukan dahulu. Segala petualangan seksnya ingin ia tinggalkan. Aku
sangat menghormati keputusannya itu. Ia sangat menyayangiku dan
melindungiku seperti seorang Kakak kepada adiknya, sedangkan aku
menyayanginya seperti seorang kekasih. Ah, apakah bisa ia menjadi
kekasihku?
April 2002
"Gun, aku.. Aku.. Sudah.. Meniduri seorang gadis"
Ia
menelpon ku dari Pontianak sambil menangis. Ia merasa telah melanggar
janjinya sendiri. Kudengar isak tangisnya diujung sana. Akupun merasa
seperti petir menyerangku disiang hari.
"Pulanglah, Lex!", pintaku sedih.
"Aku akan balik segera... Maafkan aku ya" jawabnya pelan.
"Aku maafkan" jawabku sambil menangis.
Juni 2003
Aku
bertengkar dengannya. Sebuah pertengkaran yang seharusnya tidak perlu.
Aku merasa cemburu karena ia menyukai seorang gadis di Jakarta.. Ia
tahu kalau perhatiannya akan terbagi. Dan ia tahu kalau aku cemburu.
Tapi aku begitu egois saat itu. Dengan segala cara kucoba agar ia tidak
menyukainya. Tapi kusadari, aku sudah terlalu jauh. Akhirnya aku
menyerah. Aku merasa akan kehilangan dia. . Sepanjang akhir tahun, aku
berusaha untuk menjauh darinya. Setiap malam aku terbayang akan
wajahnya. Aku berusaha untuk menyukai seorang gadis. Saat itu aku
berusaha mendekati gadis yang belum resmi menjadi pacarku. Namun hanya
bertahan 3 bulan. Itu karena aku menjauh darinya. Ketidakjujurannya
membuat aku sangat sedih. Ia jatuh dalam pelukan lelaki lain bahkan
terjebak dalam drugs. Sesuatu yagn sangat kubenci.
Akupun sempat
bertemu dengan teman lamaku dikuliah, seorang wanita yang kutahu kalau
dia menyukaiku. Aku menemaninya sampai malam hari untuk berkeliling
Jakarta. Tengah malam, ia memintaku untuk ke Ancol. Aku tahu maksudnya.
Kutolak halus karena memang aku tidak memiliki perasaan apa-apa.
Apalagi dia masih gadis. Polos. Aku coba untuk menghilangkan perasaanku
pada Alex maupun kekecewaanku pada mantanku hingga aku coba jajan ke
panti pijat dengan seorang teman di daerah Pangeran Jayakarta.
Seorang
wanita muda yang cukup cantik dan seksi, memakai baju yang sangat
minim dengan tarif yang lumayan mahal, "Enam ratus ribu hanya untuk 2
jam", pikirku.
Aku sudah telanjang didepannya. Tongkat
kebangganku tidak mau bangun. Sial, kucoba untuk berpikiran yang
jorok-jorok. Sementara wanita tersebut mulai memijitku dan meluluriku.
Badannya seksi tapi kenapa aku tidak bisa meresponnya. Akhirnya tongkat
itupun bangkit dengan susah payah. Tapi kembali lemas. Begitu terus
hingga akhir sesi. Wanita itu hanya tersenyum. Sepanjang sesi itu, aku
hanya pasrah dengan pijatan dan rabaannya. Aku nggak bisa berbuat
apa-apa. Kudengar, temanku sudah ber 'aha uhu' disebelah. Wah, sia-sia
nih.
Aku pulang sambil menangis. Kutelepon Alex. Kuceritakan
kalau aku sudah pergi kepanti pijat. Dia kaget. Dia menyuruhku agar
tidak mengulanginya lagi. Tapi dia tertawa saat kukatakan bahwa aku
tidak bisa tidur dengan wanita itu, bahkan isi kantungkupun habis.
Januari 2004
"Gun, papaku meninggal"
Aku
tersentak. Segera aku menuju rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Di
sana sudah banyak kerabatnya. Segera kuhubungi seluruh teman kami. Saat
kudatang kerumah sakit, ia memelukku sambil menangis. Kucoba untuk
menenangkannya. Dia memelukku dengan lebih erat. 'Takkan kubiarkan kau
menangis. Takkan kubiarkan kau terkikis. Maafkan segala sikapku selama
ini. Maafkan aku, bukan maksud untuk melukaimu dengan segala ucapanmu'
Kulihat disudut ruangan, kekasih Alex yang juga datang.
Dirumah duka, aku diajak menemui mamanya.
"Ma, ini Gunawan. Temen baik Alex" katanya.
Aku sudah mengenal seluruh keluarganya, tapi belum mengenal mamanya karena baru datang dari Singkawang.
"Sekarang
Mama punya satu anak lagi" katanya sambil menarikku kearah mamanya.
Ya, ia sudah menganggapku sebagai Adik dan sahabat terbaiknya.
Maret 2004
Aku
hanya bisa tersenyum pahit saat Alex memintaku untuk menjadi best
friendnya saat ia akan menikah. Kucoba untuk tutupi kerisauanku.
Kukatakan, aku bersedia. Dalam hati aku menangis sedih. Hati ini seperti
kena batu godam yang besar. Hancur berkeping-keping. Malam itu,
sebelum hari pernikahan tiba, aku dan Alex berada dihotel untuk
persiapan. Aku sangat terpukul karena sesungguhnya aku mencintainya,
bukan sebagai Kakak, tapi lebih dari itu. Saat kami tidur bersama, tak
ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Aku hanya berusaha untuk
tidur. Tidak seperti dahulu, kalau tidur kami sering berpelukan.
"Meskipun perih, kau tetap selalu ada didada ini."
Setelah
ia menikah, aku jarang pergi bareng lagi dengannya. Aku berusaha untuk
menjaga jarak. Aku tidak mau menghancurkan kehidupan orang yang aku
sayangi. Ia selalu berusaha untuk mengajakku jalan-jalan atau makan
bersama atau nonton, tapi dengan istrinya juga. Jadi kami berjalan
bertiga. Maafkan aku Alex! Aku merasa cemburu bila kau tak sendiri.
****
Tak seharusnya kita berjumpa
Karena diriku masih mencinta
Maafkan sikapku
Lupakan salahku itu
Aku menahan marah, rindu dan egoku
****
10 Juli 2004
Pagi
itu aku beringsut dari tempat tidurku. Hampir setiap malam aku
termenung, meratapi apa yang sedang terjadi dalam hidupku ini. Bahkan
hari itu aku hanya tidur 2 jam. Aku bertekad untuk mengungkapkan apa
yang kupendam ke Alex.
"Punya waktu nggak pagi ini" tanyaku kepadanya.
"Punya dong, apalagi buat temanku ini" jawabnya.
Kami
mncari tempat yang kosong di McD, waktu masih menunjukkan pukul
setengah sembilan. Jadi masih sepi. Kupesan hamburger dan minuman. Ia
sendiri tidak makan.
"Maafkan aku, Lex"
"Ada apa?"
Aku
diam, lalu menangis didepannya seperti anak kecil. Kemudian kuceritakan
apa yang sebenarnya terjadi. Ia menatapku. Aku tak bisa menatapnya.
"Lex, aku sangat sayang padamu. Lebih dari itu.." aku terdiam dan kembali menangis.
"Aku
tahu kalau kamu sayang padaku. Aku tahu kalau kau suka samaku. Aku
tahu segala perhatian dan kebaikanmu. Aku tahu apa yang ada didirimu.
Tapi, aku bukanlah orang yang suka dengan sesama jenis. Gun, kau sudah
kuanggap Adik dan aku tetap melihatmu sebagai lelaki normal. Aku hanya
ingin kau normal, Gun."
Ia memelukku, lalu menggandengku seperti yang pernah dilakukannya dahulu.
"Berusahalah
agar kau bisa keluar dari masalahmu. Aku akan terus membantu. Bulan
Agustus kita akan jalan-jalan. Ok. Kita ke Batam, lalu jalan-jalan ke
Singapura. Kita bisa menginap dirumah pamanku" katanya lagi.
Aku
sudah menerima kenyataan kalau aku gay. Tapi didepannya aku berusaha
untuk tegar. Tidak mau menyakiti hatinya. Namun aku berjanji tak akan
menemuinya lagi.
****
Aku masih di sini
Mendekap hampa dihati
Hingga kini menghantui
Tentang arti hidup ini
Waktu terus berputar
Tanpa bisa menawan
Manisnya sgala sanjung puji
Menjadi pahit caci maki
Segala yang terjadi dalam hidupku ini adalah sebuah misteri ilahi
Perihnya cobaan hanya ujian kehidupan
Lelah kaki melangkah
Sesat tiada arah
Suara hati semakin lemah
Terkikis oleh amarah
Sesaat aku tersentak
Ingin rasanya berteriak
Masihkah ada cinta tersisa
Untuk jiwa yang terlunta
****
Saat aku menulis cerita ini, ia kembali meng"SMS"ku.
"Lapangkanlah
hatiku yang sesak dan keluarkanlah aku dari kesulitanku! Tiliklah
sengsaraku dan kesukaranku dan ampuni segala dosaku" Akupun menangis.
Alex, maafkan aku! Sekarang aku hanya berharap menemukan seseorang yang
tepat untuk mencintaiku. Dan mau mengerti aku apa adanya.
*****
Catatan Penulis
Kisah
ini menjadi jawaban bagi seluruh teman-teman yang sudah bertanya.
Thanks. Sejak aku menulis kisahku yang pertama, sampai-sampai aku harus
menjawab email yang jumlahnya naik empat kali lipat. Wah, sampai malem
tuh jawabnya. Tapi thanks mau kirim email. By the way, aku berusaha
untuk membalas, kecuali email yang berisi virus. Dan untuk teman yang
ngajak "ML", terima kasih atas ketertarikan kalian, tapi aku bukan tipe
gay yang mengutamakan seks, maaf ya. Kita harus kenalan dulu. Dulu
mungkin aku tertarik dengan body dan seks. Sekarang itu jadi nomor dua.
Dan aku nggak mau segala yang pedih kembali berulang.
Yang ingin
bertanya, silahkan email, ada beberapa kisah yang aku nggak akan muat
di 17Tahun.com, karena hal itu menyangkut murid-muridku. Seluruh nama
di atas sudah aku samarkan.
"Orang yang terbaik bagimu adalah dia
yang mau berkorban untukmu dan mau menerimamu apa adanya dan selalu
mendukungmu. Jadilah orang terbaik bagi seseorang yang kau cintai".
Tamat
Artikel Terkait: